Rabu, 09 Maret 2011

Tetang Tawakal Kepada Alloh SWT

Tawakal adalah kesungguhan hati dalam bersandar kepada Alloh Ta’ala untuk mendapatkan kemaslahatan serta mencegah bahaya, baik menyangkut urusan dunia maupun akhirat. Alloh Ta’ala berfirman yang artinya, ”Dan barangsiapa bertaqwa kepada Alloh, niscaya Dia akan jadikan baginya jalan keluar dan memberi rizqi dari arah yang tiada ia sangka-sangka, dan barangsiapa bertawakal kepada Alloh, maka Dia itu cukup baginya.” (Ath Tholaq: 2-3)

Makna Bertawakal Kepada Alloh

Banyak di antara para ulama yang telah menjelaskan makna tawakal, diantaranya adalah Al Allamah Al Munawi. Beliau mengatakan, “Tawakal adalah menampakkan kelemahan serta penyandaran (diri) kepada yang ditawakali.” (Faidhul Qadir, 5/311). Ibnu ‘Abbas radhiyallohu’anhuma mengatakan bahwa tawakal bermakna percaya sepenuhnya kepada Alloh Ta’ala. Imam Ahmad mengatakan, ”Tawakal berarti memutuskan pencarian disertai keputus-asaan terhadap makhluk.” Al Hasan Al Bashri pernah ditanya tentang tawakal, maka beliau menjawab, ”Ridho kepada Alloh Ta’ala”, Ibnu Rojab Al Hanbali mengatakan, ”Tawakal adalah bersandarnya hati dengan sebenarnya kepada Alloh Ta’ala dalam memperoleh kemashlahatan dan menolak bahaya, baik urusan dunia maupun akhirat secara keseluruhan.” Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, ”Tawakal yaitu memalingkan pandangan dari berbagai sebab setelah sebab disiapkan.”

Mendapatkan Kebaikan dan Menghindari Kerusakan

Ibnul Qayyim berkata, ”Tawakal adalah faktor paling utama yang bisa mempertahankan seseorang ketika tidak memiliki kekuatan dari serangan makhluk lainnya yang menindas serta memusuhinya. Tawakal adalah sarana yang paling ampuh untuk menghadapi keadaan seperti itu, karena ia telah menjadikan Alloh sebagai pelindungnya atau yang memberinya kecukupan. Maka barang siapa yang menjadikan Alloh sebagai pelindungnya serta yang memberinya kecukupan, maka musuhnya itu tak akan bisa mendatangkan bahaya padanya.” (Bada’i Al-Fawa’id 2/268)

Bukti yang paling baik adalah kejadian nyata, Imam Al Bukhori telah mencatat dalam kitab shohih beliau, dari sahabat Ibnu Abbas rodhiyallohu anhuma, bahwa ketika Nabi Ibrahim dilemparkan ke tengah-tengah api yang membara beliau mengatakan, “Hasbunallohu wa ni’mal wakiil.” (Cukuplah Alloh menjadi penolong kami dan Alloh adalah sebaik-baik pelindung). Perkataan ini pulalah yang diungkapkan oleh Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam ketika dikatakan kepada beliau, Sesungguhnya orang-orang musyrik telah berencana untuk memerangimu, maka waspadalah engkau terhadap mereka.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam bab Tafsir. Lihat Fathul Bari VIII/77)

Ibnu Abbas berkata, “Kata-kata terakhir yang diucapkan oleh Nabi Ibrahim ketika ia dilemparkan ke tengah bara api adalah: ‘Cukuplah Alloh menjadi penolong kami dan Alloh sebaik-baik pelindung’.” (HR. Bukhori)

Bertawakal Kepada Alloh Adalah Kunci Rizki

Rosululloh Shallallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh, seandainya kalian bertawakal kepada Alloh dengan sebenar-benarnya, niscaya kalian akan diberi rizki sebagaimana burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar, dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Al-Hakim)

Dalam hadits yang mulia ini Rosululloh menjelaskan bahwa orang yang bertawakal kepada Alloh dengan sebenar-benarnya, pastilah dia akan diberi rizki. Bagaimana tidak, karena dia telah bertawakal kepada Dzat Yang Maha Hidup yang tidak pernah mati. Abu Hatim Ar Razy berkata, ”Hadist ini merupakan tonggak tawakal. Tawakal kepada Alloh itulah faktor terbesar dalam mencari riqzi.” Karena itu, barangsiapa bertawakal kepadaNya, niscaya Alloh Subhanahu Wa Ta’ala akan mencukupinya. Alloh berfirman yang artinya, “Dan barangsiapa bertawakal kepada Alloh, niscaya Alloh akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Alloh melaksanakan urusan (yang dikehendakiNya). Sesungguhnya Alloh telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (Ath-Thalaq: 3). Ar Rabi’ bin Khutsaim berkata mengenai ayat tersebut, “Yaitu mencukupinya dari segala sesuatu yang membuat sempit manusia.”

Tawakal Bukan Berarti Tidak Berusaha

Mewujudkan tawakal bukan berarti meniadakan usaha. Alloh memerintahkan hamba-hambaNya untuk berusaha sekaligus bertawakal. Berusaha dengan seluruh anggota badan dan bertawakal dengan hati merupakan perwujudan iman kepada Alloh Ta’ala.
Sebagian orang mungkin ada yang berkata, “Jika orang yang bertawakal kepada Alloh itu akan diberi rizki, maka kenapa kita harus lelah, berusaha dan mencari penghidupan. Bukankah kita cukup duduk-duduk dan bermalas-malasan, lalu rizki kita datang dari langit?” Perkataan itu sungguh menunjukkan kebodohan orang itu tentang hakikat tawakal. Nabi kita yang mulia telah menyerupakan orang yang bertawakal dan diberi rizki itu dengan burung yang pergi di pagi hari untuk mencari rizki dan pulang pada sore hari, padahal burung itu tidak memiliki sandaran apapun, baik perdagangan, pertanian, pabrik atau pekerjaan tertentu. Ia keluar berbekal tawakal kepada Alloh Yang Maha Esa sebagai tempat bergantung.

Para ulama -semoga Alloh membalas mereka dengan sebaik-baik kebaikan- telah memperingatkan masalah ini. Di antaranya adalah Imam Ahmad, beliau berkata: “Dalam hadits tersebut tidak ada isyarat yang membolehkan meninggalkan usaha, sebaliknya justru di dalamnya ada isyarat yang menunjukkan perlunya mencari rizki. Jadi maksud hadits tersebut, bahwa seandainya mereka bertawakal kepada Alloh dalam bepergian, kedatangan dan usaha mereka, dan mereka mengetahui bahwa kebaikan (rizki) itu di TanganNya, tentu mereka tidak akan pulang kecuali dalam keadaan mendapatkan harta dengan selamat, sebagaimana burung-burung tersebut”. (Tuhfatul Ahwadzi, 7/8)

Imam Ahmad pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang hanya duduk di rumah atau di masjid seraya berkata, “Aku tidak mau bekerja sedikitpun, sampai rizkiku datang sendiri”. Maka beliau berkomentar, “Ia adalah laki-laki yang tidak mengenal ilmu. Sungguh Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Sesungguhnya Alloh telah menjadikan rizkiku dalam bayang-bayang tombak perangku (baca: ghonimah)’. Dan beliau juga bersabda, ‘Sekiranya kalian bertawakal kepada Alloh dengan sebenar-benarnya, niscaya Alloh memberimu rizki sebagaimana yang diberikanNya kepada burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang.’ (Hasan Shohih. HR.Tirmidzi). Selanjutnya Imam Ahmad berkata, “Para sahabat juga berdagang dan bekerja dengan mengelola pohon kurmanya. Dan mereka itulah teladan kita.” (Fathul Bari, 11/305-306)

Kalau kita mau merenungi maka dapat kita katakan bahwa pengaruh tawakal itu tampak dalam gerak dan usaha seseorang ketika bekerja untuk mencapai tujuan-tujuannya. Imam Abul Qasim Al-Qusyairi mengatakan, “Ketahuilah sesungguhnya tawakal itu letaknya di dalam hati. Adapun gerak lahiriah maka hal itu tidak bertentangan dengan tawakal yang ada di dalam hati setelah seseorang meyakini bahwa rizki itu datangnya dari Alloh. Jika terdapat kesulitan, maka hal itu adalah karena takdir-Nya. Dan jika terdapat kemudahan maka hal itu karena kemudahan dariNya.” (Murqatul Mafatih, 5/157)

Diantara yang menunjukkan bahwa tawakal kepada Alloh tidaklah berarti meninggalkan usaha adalah sebuah hadits. Seseorang berkata kepada Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Aku lepaskan untaku dan (lalu) aku bertawakal ?” Nabi bersabda, “Ikatlah kemudian bertawakallah kepada Alloh.” (HR. Tirmidzi dan dihasankan Al Albani dalam Shohih Jami’ush Shoghir). Dalam riwayat Imam Al-Qudha’i disebutkan bahwa Amr bin Umayah Radhiyallohu ‘anhu berkata, “Aku bertanya, ‘Wahai Rosululloh!! Apakah aku ikat dahulu unta tungganganku lalu aku bertawakal kepada Alloh, ataukah aku lepaskan begitu saja lalu aku bertawakal?’, Beliau menjawab, ‘Ikatlah untamu lalu bertawakallah kepada Alloh.” (Musnad Asy-Syihab, Qayyidha wa Tawakal, no. 633, 1/368)

Tawakal tidaklah berarti meninggalkan usaha. Hendaknya setiap muslim bersungguh-sungguh dan berusaha untuk mendapatkan penghidupan. Hanya saja ia tidak boleh menyandarkan diri pada kelelahan, kerja keras dan usahanya, tetapi ia harus meyakini bahwa segala urusan adalah milik Alloh, dan bahwa rizki itu hanyalah dari Dia semata.


Disadur dari : Blog Media Muslim

Tentang Taqwa Kepada Alloh SWT

TAQWA
Agus Priyatmono *)

Taqwa adalah kata yang sudah umum kita dengar dan sangat familiar baik di dunia keagamaan maupun pendidikan. Tapi alangkah baiknya kita sedikit kita kupas makna dari kata taqwa itu. Taqwa mengandung pengertian yang berbeda-beda di kalangan ulama, namun semuanya bermuara pada satu pengertian yaitu :
Seorang hamba melindungi dirinya dari kemurkaan Allah ˜azza wa jalla dan juga siksaNya. Hal itu dilakukan dengan melaksanakan yang diperintahkan dan menjauhi yang dilarangNya.

Afif Abdulullah Al Fahah Thabbarah mengatakan Taqwa adalah seorang memelihara dirinya dari segala sesuatu yang mengundang kemarahan Allah dan dari segala sesuatu yang mendatangkan mudharat baik dirinya maupun orang lain.

Ibnu Rajab rahimahullah berkata bahwa asal taqwa adalah seorang hamba membuat pelindung yang melindungi dirinya dari hal-hal yang ditakuti.

Jadi ketaqwaan seseorang hamba kepada Rabnya adalah ia melindungi dirinya dari hal-hal yang dia takuti, yang dating dari Allah berupa kemurkaan dan azabNya yaitu melakukan ketaatan kepadaNya dan menjauhi kemaksiyatan kepadaNya.

Taqwa adalah sebaik-baik pakaian.

Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang terbaik (QS. 7 ayat 26).

Al libas dalam ayat tersebut berarti pakaian penutup aurat, ini merupakan suatu keharusan. Dan Ar Risy artinya asesoris atau perhiasan sebagai tambahan dari pakaian tadi. Sedangkan Libasut Taqwa artinya pakaian penyempurna baik lahir maupun batin.

Qasim bin Malik dari ˜Auf dari Mabad Al Juhni mengatakan bahwa pakaian taqwa itu adalah al haya atau malu. Ibnu ˜Abbas‚ mengatakan bahwa pakaian taqwa itu adalah amal sholeh, wajah yang simpatik dan bisa juga bermakna segala sesuatu yang Allah ajarkan dan tunjukkan. Ibnu Katsir mengatakan bahwa pakaian taqwa itu adalah berlaku kusyu dalam beramal dan taat. Kesimpulannya bahwa pakaian taqwa itu merupakan suatu yang tampak secara lahir maupun batin dalam bentuk suatu kebaikan dengan keikhlasan dan kekhusyuan dalam beramal

Taqwa adalah sebaik-baik bekal

Berbekallah dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa, dan bertaqwalah kepada Ku, hai orang-orang yang berakal (QS 2 ayat 197).

Ibnu Katsir menafsirkan ayat tersebut dengan menyatakan bahwa tatkala Allah memerintahkan kepada hambaNya untuk mengambil bekal dunia (watazawwaduu) maka Allah menunjukkan kepadanya tentang bekal menuju akhirat yaitu taqwa (fainna khairuzzaadit taqwaa). Zamakhsyari rahimahullah menyatakan berbekallah ke akhirat dengan taqwa karena dapat membersihkan kotoran-kotoran (dosa dan kesalahan) kemudian firmanNya (bertaqwalah kepadaKu) artinya takutlah kamu terhadap siksaKu. Dan firmanNya (Hai orang-orang yang berakal) maksudnya bagi orang yang memiliki akal, ia akan tentu berfikir bahwa perkara terpenting adalah taqwa kepada Allah. Dan bagi siapa yang tidak takut pada perkara terpenting ini maka sama artinya bahwa ia tidak mempunyai akal atau tidak berakal.

Dengan memperhatikan perkara penting ini maka ia akan mempersiapkan diri untuk menghadapi hari esok dengan taqwa. Bila ia tergerak untuk mempersiapkan diri maka berarti ia telah memenuhi panggilan Allah sebagai orang yang beriman, sebagaimana Allah berfirman dalam Quran surat Al Hasyr ayat 18 yang artinya :

Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat) dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan.

Taqwa adalah kedudukan tertinggi

Ketika dalam diri manusia bercokol bibit sifat kesombongan dan ketakaburan serta sifat ujub maka sulit baginya untuk dapat mencapai derajat taqwa. Terkadang dalam realita bahwa kedudukan seseorang itu ditentukan oleh banyak criteria seperti pangkat, jabatan, kekayaan, banyaknya pengikut, kepandaian, banyaknya gelar kehormatan, kecantikan dan kerupawanan wajah atau bahkan keelokan tubuh yang dapat diumbar dengan seenaknya. Itu sebuah kekeliruan yang sangat fatal. Argumen itu dipatahkan Allah dengan ayatNya dalam Quran surat Al Hujurat (49) ayat 13 yang artinya : Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling taqwa di antara kamu.

Kita ingat bahwa sungguh Islam telah meninggikan derajat Salman Al Farisyi dan Bilal bin Rabah sebagai sosok budak dan telah menurunkan kemuliaan berupa kehinaan Abu Lahab karena kekufurannya. Hai ini diperjelas dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dinyatakan bahwa : sesungguhnya seutama-utama manusia denganku adalah orang-orang yang taqwa, siapapun dan bagaimanapun keadaan mereka".

Taqwa adalah merupakan suatu proses

"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benarnya taqwa kepadaNya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam (Qs. Ali Imron (3) ayat 102)

Jika seorang ingin mencapai derajat taqwa mustahil ia dapatkan dalam waktu yang sekejap melainkan melalui proses yang sangat panjang dengan izin Allah. Allah pun tidak melihat hasil melainkan proses melalui ujian-ujian yang diberikan pada hambaNya baik dalam bentuk kebaikan maupun keburukan, kelonggaran maupun kesempitan dan sebagainya. Allah pun memberikan keluasaan untuk memilih bagi hambanya dua jalan yang terbentang dihadapannya berupa jalan fujur dan taqwa sebagaimana disebutkan dalam Al Quran surat Asy Syam (91) ayat 8. Ketika seorang memilih jalan fujur maka jalan menuju taqwa akan terhambat bahkan tertutup. Dan jika memilih jalan taqwa berarti segala proses, jalan-jalan menuju ketaqwaan akan ia tempuh, bagaimanapun beratnya perjalanan. Sebagaimana perjalanan Salman Al Farisyi dan Abu Dzar Al Ghifari mencari hidayah Allah. Setelah mereka mendapatkan hidayah Allah kemudian mereka mempertahankan hidayah itu dengan usaha ikut berjuang mengembangakan dan meyebarkan Islam ke penjuru dunia.

Atau kisah seorang pembunuh 100 orang yang bertaubat kepada Allah. Ia mendapatkan suatu nikmat ketaqwaan dengan diampuninya dosa dan kesalahannya oleh Allah SwT melalui proses yang sangat panjang. Sebagai pengingat pula bahwa bila seseorang memilih jalan proses ketaqwaan maka ia akan berusaha sekuat mungkin untuk tetap konsisten dalam jalan ketaqwaan sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi : Bertaqwalah kamu kepada Allah dimanapun kamu berada Semoga kita termasuk orang yang melakukan proses ketaqwaan sehingga benar-benar mendapatkan kedudukan taqwa di sisi

Taqwa adalah jalan keluar

Adalah suatu hal yang sangat diharapkan oleh setiap manusia bahwa segala sesuatu urusan yang dilalui selalu lancar tanpa hambatan. Tetapi sudah merupakan suatu sunatullah bahwa mustahil untuk mendapat sesuatu tanpa perjuangan. Perjuangan, hambatan, gangguan dan apapun bentuknya merupakan bagian dari ujian untuk mendapatkan sesuatu. Seorang ingin lulus sekolah harus melalui ujian, seorang ingin masuk sebuah pekerjaan di sebuah perusahaan harus melalui tahapan tes yang melelahkan.

Adapun orang yang berakal dan beriman taqwa merupakn suatu pilihan jalan keluar. Banyak cerita ketika seorang telah menyatakan diri Islam, beriman dan bertaqwa maka ada suatu bentuk kabar gembira yang diberikan Allah seseuai dengan janjiNya. Sesulit apapun hambatan pasti ada jalan keluar. Ketika ia memilih jalan ketaqwaan maka ia tidak akan mengalami kerugian. Allah telah berjanji dengan janji yang benar dan tidak akan pernah ingkar janji, karena Allah Maha Menjaga Janji. Janji Allah tertulis dalam kitab yang suci Al Quran surat Ath Thalaq (65) ayat 2 yang artinya : Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberikan rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. Itulah perintah Allah yang diturunkanNya kepada kamu, dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipat gandakan pahala baginya. Subhanallah

*(Dari hamba yang dhoif dan banyak maksiyat yang selalu bermohon ampunan dariNya)

Disadur dari : Al FURQON